Jumat, 07 November 2025

Kotasejuk Serahkan Fosil Stegodon Tritik ke Museum Geologi Bandung


Langkah Penting Menuju Konservasi dan Edukasi Geologi di Nganjuk

Bandung, 6 November 2025

Setelah melalui perjalanan panjang dan penuh kehati-hatian, tim dari Dinas Porabudpar Kabupaten Nganjuk, Museum Anjuk Ladang, dan Komunitas Kotasejuk akhirnya berhasil mengantarkan fosil Stegodon hasil ekskavasi di Hutan Tritik, Rejoso, ke Museum Geologi Bandung.

Rombongan berangkat dari Nganjuk pada Rabu (5/11/2025) sore, menempuh perjalanan lebih dari 12 jam di tengah hujan deras dan medan yang berat. Kamis pagi pukul 05.00 WIB, tim tiba di Bandung dan disambut langsung oleh Ketua Tim Penyelidikan dan Konservasi Museum Geologi, Unggul Prasetyo Wibowo, yang sebelumnya juga memimpin ekskavasi di Nganjuk.
Momen Bersejarah di Auditorium Museum Geologi

Prosesi serah terima fosil dilaksanakan di Auditorium Museum Geologi Bandung. Kegiatan ini dihadiri oleh Kepala Museum Geologi, Isnu Hajar Sulistyawan, bersama jajaran tim konservasi dan edukasi. Dari pihak Nganjuk hadir Kabid Kebudayaan Disporabudpar sekaligus Ketua Kotasejuk, Amin Fuadi, beserta anggota komunitas Kotasejuk yang turut mendampingi pengiriman fosil.

Acara berlangsung khidmat dan penuh rasa haru. Kepala Museum Geologi, Isnu Hajar Sulistyawan, menyampaikan apresiasi tinggi atas kolaborasi yang terjalin antara lembaga pemerintah, museum daerah, dan komunitas lokal.

“Penemuan fosil Stegodon di Nganjuk bukan sekadar temuan arkeologi, tetapi juga kontribusi ilmiah untuk bangsa. Kami akan mendampingi proses konservasi dan membantu pengembangan site museum di Tritik,” ujar Isnu dalam sambutannya.

Ia menambahkan bahwa program Site Museum menjadi salah satu agenda prioritas nasional di bidang geologi dan edukasi publik. Keberadaan site museum di Nganjuk diharapkan tidak hanya memperkuat upaya konservasi, tetapi juga membuka peluang pengembangan ekonomi lokal berbasis wisata edukatif.
Perjalanan Panjang, Penuh Kehati-hatian

Dari sisi Kotasejuk, perjalanan kali ini bukan hanya soal logistik, tetapi juga tanggung jawab moral untuk memastikan warisan bumi tetap terjaga. Ketua Kotasejuk, Amin Fuadi, dalam sambutannya mengungkapkan perjuangan tim selama proses pengiriman. “Kami berangkat sore hari dalam kondisi hujan deras. Kendaraan pengangkut fosil berjalan perlahan agar tidak menimbulkan kerusakan. Alhamdulillah, semua tiba dengan selamat,” tutur Amin.

Fosil yang dikirim merupakan hasil ekskavasi tahap kedua di Hutan Tritik, di mana sekitar 70 persen struktur tubuh Stegodon telah berhasil disingkap oleh tim gabungan. Setelah proses konservasi dan replikasi di Bandung, sebagian hasilnya akan kembali ke Nganjuk untuk menjadi koleksi utama Site Museum Stegodon Tritik yang kini sedang dalam tahap penyelesaian akhir.
Dari Tritik untuk Indonesia

Bagi Kotasejuk, keterlibatan dalam proses ini merupakan kehormatan sekaligus bukti nyata kontribusi komunitas dalam pelestarian geowarisan.
Selama ekskavasi, anggota Kotasejuk turut membantu dokumentasi, logistik, serta kegiatan penanaman pohon di sekitar lokasi fosil sebagai bentuk tanggung jawab ekologis. “Kami merasa bangga bisa ikut dalam langkah besar ini. Semoga kolaborasi ini menjadi pintu bagi kegiatan konservasi lain di masa depan,” ungkap salah satu anggota Kotasejuk yang ikut serta dalam perjalanan.

Kotasejuk menilai bahwa pengembangan Site Museum Tritik akan menjadi tonggak penting bagi Nganjuk dalam bidang konservasi, edukasi, dan pariwisata geologi. Selain sebagai sarana penelitian, museum ini diharapkan dapat memperkuat identitas daerah sebagai wilayah dengan potensi geologi yang luar biasa.
Harapan ke Depan

Dengan dukungan Museum Geologi Bandung dan Badan Geologi Indonesia, Kotasejuk berharap keberadaan Site Museum Stegodon Tritik dapat menjadi pusat pembelajaran masyarakat mengenai sejarah bumi, sekaligus wadah kreativitas bagi generasi muda Nganjuk untuk mengenal warisan alamnya sendiri. “Kami percaya, melestarikan fosil bukan hanya menjaga masa lalu, tapi juga menanam masa depan,” tutup Amin Fuadi.

Penulis: John

Dokumentasi Kegiatan

Sabtu, 01 November 2025

Kotasejuk Tanam Pohon Tabebuya di Lokasi Ekskavasi Fosil Stegodon Tritik

Kotasejuk Tanam Pohon Tabebuya di Lokasi Ekskavasi Fosil Stegodon Tritik

Setelah turut membantu proses ekskavasi fosil Stegodon bersama tim Museum Geologi Bandung dan Dinas Kepemudaan, Olahraga, Kebudayaan, dan Pariwisata (Disporabudpar) Kabupaten Nganjuk, komunitas Kotasejuk kembali menunjukkan kepeduliannya terhadap lingkungan dengan melakukan penanaman pohon di kawasan hutan Tritik, Rejoso, setelah semua fosil berhasil di angkut keluar kawasan hutan.

Sejumlah bibit pohon Tabebuya ditanam oleh anggota Kotasejuk di sekitar area ekskavasi pada Sabtu (1/11/2025). Kegiatan ini menjadi bagian dari langkah nyata komunitas dalam menjaga kelestarian alam sekaligus memperindah kawasan yang menjadi saksi penemuan penting fosil gajah purba di Nganjuk.

Penanaman pohon ini bertujuan untuk mengembalikan keseimbangan ekosistem di sekitar lokasi ekskavasi serta menegaskan komitmen Kotasejuk dalam menggabungkan pelestarian sejarah dan lingkungan. Selain itu, kegiatan ini diharapkan dapat menjadi contoh sinergi antara penelitian arkeologi dan kepedulian ekologis.

Melalui kegiatan ini, Kotasejuk berharap kawasan hutan Tritik dapat menjadi ruang edukatif terbuka yang tidak hanya menyimpan nilai sejarah, tetapi juga menghadirkan keindahan dan kesejukan bagi generasi mendatang. Pohon Tabebuya yang ditanam akan menjadi simbol harapan baru bahwa setiap penemuan sejarah juga perlu disertai upaya menjaga kehidupan alam di sekitarnya.

Selain berfungsi memperkuat kondisi tanah di area perbukitan yang rawan erosi, keberadaan pohon Tabebuya akan memberikan manfaat ekologis seperti meningkatkan kualitas udara, meneduhkan kawasan, serta mendukung wisata edukatif berbasis konservasi.

“Kami ingin menunjukkan bahwa pelestarian sejarah dan pelestarian alam bisa berjalan beriringan. Hutan bukan hanya tempat ditemukannya fosil, tetapi juga ruang kehidupan yang harus terus dijaga,” kata Aris Trio Effendi, salah satuPegiat Kotasejuk.

Kegiatan ini menjadi penutup yang bermakna dari rangkaian kegiatan Kotasejuk di kawasan ekskavasi Stegodon. Dari penemuan jejak masa purba hingga penanaman harapan baru, Kotasejuk terus melangkah menjaga warisan bumi dan sejarah Nganjuk.

Penulis : John

Dokumentasi kegiatan :

Jumat, 31 Oktober 2025

Perlindungan Hukum atas Fosil Stegodon: “Kelalaian Bisa Berujung Pidana!”



KOTASEJUK Tegaskan Perlindungan Hukum atas Fosil Stegodon: “Kelalaian Bisa Berujung Pidana!”

Penemuan fosil Stegodon, gajah purba dari zaman Pleistosen, di Hutan Tritik, Kecamatan Rejoso, Kabupaten Nganjuk, menjadi sorotan dunia arkeologi. Namun di balik temuan ilmiah tersebut, Divisi Hukum KOTASEJUK (Komunitas Pecinta Sejarah Kabupaten Nganjuk) menegaskan pentingnya perlindungan hukum terhadap setiap objek cagar budaya agar tidak terjadi pelanggaran yang berujung pidana.

Menurut Prayogo Laksono, S.H., M.H., selaku Divisi Hukum KOTASEJUK, seluruh pihak — baik individu, lembaga, maupun korporasi seperti Perhutani — memiliki kewajiban hukum untuk menjaga dan melestarikan setiap temuan purbakala. Hal ini diatur secara tegas dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya.

“Menghalangi atau mengabaikan upaya penyelamatan fosil purba merupakan pelanggaran serius. Sanksinya bisa berupa penjara hingga 15 tahun dan denda miliaran rupiah,” tegas Prayogo dalam kajian hukumnya, Selasa (7/10/2025).

Tanggung Jawab Hukum dan Peran Negara

Prayogo menjelaskan, Pasal 56 hingga 59 UU Cagar Budaya mengatur kewajiban seluruh pihak untuk menjaga, menyelamatkan, dan memelihara cagar budaya dari kerusakan, pencurian, maupun pemindahan tanpa izin. Pemerintah daerah dan pengelola kawasan hutan, termasuk Perhutani, memiliki tanggung jawab langsung untuk memastikan keamanan temuan tersebut.

“Pemerintah dan Perhutani tidak boleh abai. Mereka wajib melindungi fosil dari ancaman pelapukan dan eksploitasi,” ujarnya.

KOTASEJUK mengapresiasi langkah cepat Disporabudpar Nganjuk bersama Perhutani yang telah mendukung proses ekskavasi fosil Stegodon. Tindakan tersebut dinilai sejalan dengan Pasal 59 UU Cagar Budaya, yang menegaskan peran aktif pemerintah dalam upaya pelestarian warisan sejarah.

“Ini bukti nyata pelaksanaan amanat konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 32 ayat (1) UUD 1945 — negara wajib memajukan kebudayaan nasional dan menjamin masyarakat dalam melestarikan nilai budayanya,” tambahnya.

Sanksi Pidana dan Tanggung Jawab Pejabat

Dalam penjelasannya, Prayogo menyoroti beberapa pasal penting dalam UU Nomor 11 Tahun 2010 yang memberikan sanksi berat bagi pelanggaran terhadap cagar budaya:

  • Pasal 104: Menghalangi pelestarian cagar budaya dapat dipidana penjara hingga 5 tahun dan/atau denda Rp500 juta.

  • Pasal 105: Merusak cagar budaya diancam pidana 1–15 tahun dan/atau denda hingga Rp5 miliar.

  • Pasal 114: Jika pelanggaran dilakukan oleh pejabat, hukuman dapat ditambah sepertiga dari pidana pokok.

“Ini bukan sekadar urusan moral, tapi persoalan pidana. Pembiaran atau kelalaian dapat dianggap sebagai pengabaian kewajiban hukum,” tegas Prayogo.

Perhutani dan Perlindungan Kawasan Hutan Tritik

Sebagai pengelola kawasan hutan, Perhutani disebut memiliki tanggung jawab langsung terhadap keberadaan fosil Stegodon. Berdasarkan Pasal 57, 59, dan 61 UU Cagar Budaya, setiap instansi yang menguasai lahan tempat ditemukannya cagar budaya wajib menjamin keamanan dan kelestariannya.

“Hutan Tritik bukan hanya ruang konservasi alam, tetapi juga ruang sejarah bangsa. Perhutani harus aktif menjaga dan mengamankan fosil tersebut,” ujar Prayogo.

Status Hukum Fosil Stegodon

Temuan Stegodon di Nganjuk kini telah berstatus ODCB (Objek Diduga Cagar Budaya) sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2022. Status ini memberikan perlindungan hukum penuh — fosil tidak boleh dipindahkan, dijual, atau dimusnahkan tanpa izin resmi dari otoritas berwenang.

“Dengan status ODCB, fosil Stegodon telah menjadi objek hukum. Menyentuh atau memindahkannya tanpa izin sama dengan melanggar undang-undang,” jelasnya.

Penutup

Prayogo menegaskan kembali bahwa pelestarian warisan prasejarah bukan sekadar tugas pemerintah, tetapi juga tanggung jawab seluruh masyarakat.

“Cagar budaya bukan milik individu, melainkan warisan bangsa. Fosil Stegodon adalah saksi sejarah bumi Anjuk Ladang yang tak ternilai. Hukum sudah memberi dasar, kini tinggal keberanian kita untuk menegakkannya,” pungkasnya.


(John)

Minggu, 26 Oktober 2025

KOTASEJUK DALAM PAMERAN PERADABAN PRASEJARAH NUSANTARA 2025

Museum Anjuk Ladang, Nganjuk | 23–25 Oktober 2025

Komunitas Pecinta Sejarah dan Ekologi Nganjuk (Kotasejuk) turut ambil bagian dalam Pameran Peradaban Prasejarah Nusantara 2025 yang diselenggarakan oleh Dinas Kepemudaan, Olahraga, Kebudayaan, dan Pariwisata (Disporabudpar) Kabupaten Nganjuk di Museum Anjuk Ladang pada tanggal 23–25 Oktober 2025.

Partisipasi Kotasejuk dalam kegiatan ini menjadi bentuk kontribusi nyata komunitas lokal dalam mendukung pelestarian warisan sejarah dan kebudayaan prasejarah di wilayah Nganjuk. Melalui pameran ini, Kotasejuk menampilkan berbagai dokumentasi lapangan dan temuan hasil penelitian bersama lembaga profesional di bidang arkeologi dan geologi.

1. Dokumentasi Ekskavasi Fosil Gajah Purba Stegodon

Dalam stan pameran, Kotasejuk menampilkan foto-foto kegiatan ekskavasi fosil Gajah Purba jenis Stegodon trigonochephalus yang dilakukan bersama Tim Museum Geologi Bandung dan Disporabudpar Nganjuk di kawasan Hutan Tritik, Kecamatan Rejoso.

Pengunjung juga dapat melihat visualisasi ilmiah perbandingan antara Gajah Modern dan Stegodon, serta peta sebaran lokasi survei arkeologi di wilayah Rejoso dan sekitarnya. Tidak ketinggalan, panel infografis tentang evolusi gajah di Nusantara menjadi daya tarik tersendiri bagi pelajar dan pemerhati ilmu prasejarah yang hadir.

2. Peninjauan Budaya Megalitikum di Gunung Pandan

Selain ekskavasi, Kotasejuk juga menampilkan hasil peninjauan situs-situs megalitikum di kawasan Gunung Pandan, yang terletak di perbatasan Kecamatan Rejoso.

Dalam dokumentasi tersebut, terlihat berbagai tinggalan arkeologis, antara lain:

Bak mandi batu andesit (sarkofagus),
Menhir berelief manusia kangkang,
Menhir terbesar di Nganjuk yang berada di Banaran Kulon,
Menhir Punden Joko Dolog, dan
Menhir berukir kepala ular.

Seluruh objek ini ditemukan di kawasan hutan Tritik, yang diyakini menjadi salah satu situs penting masa prasejarah di lereng Gunung Pandan, bagian dari Pegunungan Kendeng Utara.

3. Temuan Fosil dan Cagar Budaya Prasejarah di Pegunungan Kendeng

Pameran Kotasejuk juga menampilkan foto-foto peninjauan objek diduga cagar budaya prasejarah di kawasan Pegunungan Kendeng.

Temuan tersebut mencakup fosil-fosil kerang laut yang tersebar hampir di seluruh wilayah Dusun Lengkong Geneng, Pule, dan Jatikalen, menunjukkan indikasi geologis bahwa kawasan ini dulunya merupakan dasar laut purba.

Selain itu, pengunjung dapat menyaksikan dokumentasi proses eksplorasi dan ekskavasi fosil binatang darat di kawasan hutan Tritik, termasuk fosil gading Gajah Purba (Stegodon) yang diekskavasi bersama Balai Pelestarian Situs Manusia Purba (BPSMP) Sangiran.

Kotasejuk turut menampilkan tahapan pengangkatan fosil gading dari lokasi ekskavasi hingga proses konservasi awal, yang menggambarkan sinergi antara komunitas lokal dan lembaga nasional dalam upaya pelestarian benda cagar budaya.

4. Koleksi Fosil Asli

Sebagai pelengkap, Kotasejuk juga memamerkan sejumlah fosil asli hasil temuan lapangan, di antaranya:

Fosil kerang laut purba,
Gigi Stegodon, dan
Fosil Bovidae (kelompok hewan pemamah biak).

Ketiga jenis fosil tersebut menjadi bukti nyata bahwa wilayah Nganjuk menyimpan potensi geologi dan arkeologi yang sangat kaya, mencerminkan lapisan kehidupan masa lampau dari era prasejarah hingga zaman hewan besar (megafauna).

5. Semangat Pelestarian dan Edukasi Publik

Melalui keikutsertaan dalam Pameran Peradaban Prasejarah Nusantara 2025, Kotasejuk tidak hanya memperkenalkan hasil penelusuran dan penelitian lapangan, tetapi juga mengajak masyarakat luas untuk mengenal, menghargai, dan melestarikan warisan sejarah serta ekologi bumi Nganjuk.

Kotasejuk berkomitmen terus bergerak sebagai komunitas independen yang berperan aktif dalam riset, edukasi publik, dan konservasi peninggalan budaya, dengan semangat "Cinta Sejarah, Cinta Alam, Cinta Nganjuk."

Refleksi: Jejak di Tanah Leluhur, Cahaya bagi Generasi Mendatang

Partisipasi Kotasejuk dalam Pameran Peradaban Prasejarah Nusantara 2025 bukan sekadar ajang menampilkan hasil penelusuran dan penelitian, tetapi juga menjadi wujud nyata kecintaan terhadap tanah leluhur. Setiap batu, fosil, dan artefak yang diungkap dari bumi Nganjuk bukan hanya benda mati, melainkan saksi bisu perjalanan panjang manusia dan alam yang membentuk peradaban di tanah ini.

Bagi Kotasejuk, melestarikan warisan prasejarah bukan tugas sementara, ini adalah panggilan nurani dan tanggung jawab moral untuk menjaga warisan yang dititipkan oleh masa lalu kepada generasi masa depan.

Di tengah keterbatasan dan tanpa dukungan besar, Kotasejuk tetap bergerak dengan keyakinan bahwa sejarah dan ekologi adalah dua napas yang tak terpisahkan dalam kehidupan manusia. Dari lembah Kendeng hingga hutan Tritik, dari situs megalitik hingga jejak gading purba, komunitas ini terus menapaki jalan sunyi, jalan pelestarian, penelitian, dan pendidikan yang tumbuh dari hati rakyat Nganjuk sendiri.

"Hijau Bumiku, Lestari Sejarah dan Cagar Budayaku"

(john)

Dokumentasi kegiatan :